Jumat, 08 April 2011

Gunung Merapi yang salah satunya terdapat Di Indonesia

Untuk nama gunung di Sumatera Barat dengan nama yang mirip, lihat Gunung Marapi.
Merapi
Ketinggian 2.968 m (9.737 kaki)
Daftar Ribu, Gunung api Tipe A
Lokasi
Lokasi Klaten, Boyolali, Magelang (Jawa Tengah), Sleman (DI Yogyakarta)
Koordinat 7°32'30" LS 110°26'30" BT
Geologi
Jenis stratovolcano
Letusan terakhir 2010
Merapi (ketinggian puncak 2.968 m dpl, per 2006) adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004.
Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali.[rujukan?] Kota Magelang dan Kota Yogyakarta adalah kota besar terdekat, berjarak di bawah 30 km dari puncaknya. Di lerengnya masih terdapat pemukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Oleh karena tingkat kepentingannya ini, Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade Ini (Decade Volcanoes).

Geologi


Litografi sisi selatan Gunung Merapi pada tahun 1836, dimuat pada buku tulisan Junghuhn.
Gunung Merapi adalah gunung termuda dalam rangkaian gunung berapi yang mengarah ke selatan dari Gunung Ungaran. Gunung ini terbentuk karena aktivitas di zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah Lempeng Eurasia menyebabkan munculnya aktivitas vulkanik di sepanjang bagian tengah Pulau Jawa. Puncak yang sekarang ini tidak ditumbuhi vegetasi karena aktivitas vulkanik tinggi. Puncak ini tumbuh di sisi barat daya puncak Gunung Batulawang yang lebih tua.
Proses pembentukan Gunung Merapi telah dipelajari dan dipublikasi sejak 1989 dan seterusnya.Berthomier, seorang sarjana Prancis, membagi perkembangan Merapi dalam empat tahap. Tahap pertama adalah Pra-Merapi (sampai 400.000 tahun yang lalu), yaitu Gunung Bibi yang bagiannya masih dapat dilihat di sisi timur puncak Merapi. Tahap Merapi Tua terjadi ketika Merapi mulai terbentuk namun belum berbentuk kerucut (60.000 - 8000 tahun lalu). Sisa-sisa tahap ini adalah Bukit Turgo dan Bukit Plawangan di bagian selatan, yang terbentuk dari lava basaltik. Selanjutnya adalah Merapi Pertengahan (8000 - 2000 tahun lalu), ditandai dengan terbentuknya puncak-puncak tinggi, seperti Bukit Gajahmungkur dan Batulawang, yang tersusun dari lava andesit. Proses pembentukan pada masa ini ditandai dengan aliran lava, breksiasi lava, dan awan panas. Aktivitas Merapi telah bersifat letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan runtuhan material ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Kawah Pasarbubar (atau Pasarbubrah) diperkirakan terbentuk pada masa ini. Puncak Merapi yang sekarang, Puncak Anyar, baru mulai terbentuk sekitar 2000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, diketahui terjadi beberapa kali letusan eksplosif dengan VEI 4 berdasarkan pengamatan lapisan tefra.
Karakteristik letusan sejak 1953 adalah desakan lava ke puncak kawah disertai dengan keruntuhan kubah lava secara periodik dan pembentukan awan panas (nuée ardente) yang dapat meluncur di lereng gunung atau vertikal ke atas. Letusan tipe Merapi ini secara umum tidak mengeluarkan suara ledakan tetapi desisan. Kubah puncak yang ada sampai 2010 adalah hasil proses yang berlangsung sejak letusan gas 1969.
Pakar geologi pada tahun 2006 mendeteksi adanya ruang raksasa di bawah Merapi berisi material seperti lumpur yang secara "signifikan menghambat gelombang getaran gempa bumi". Para ilmuwan memperkirakan material itu adalah magma. Kantung magma ini merupakan bagian dari formasi yang terbentuk akibat menghunjamnya Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia

Puncak Merapi pada tahun 1930.
Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10-15 tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar tercatat di tahun 1006 (dugaan), 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan pada tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu, berdasarkan pengamatan timbunan debu vulkanik.[rujukan?] Ahli geologi Belanda, van Bemmelen, berteori bahwa letusan tersebut menyebabkan pusat Kerajaan Medang (Mataram Kuno) harus berpindah ke Jawa Timur. Letusan pada tahun 1872 dianggap sebagai letusan terkuat dalam catatan geologi modern dengan skala VEI mencapai 3 sampai 4. Letusan terbaru, 2010, diperkirakan juga memiliki kekuatan yang mendekati atau sama. Letusan tahun 1930, yang menghancurkan tiga belas desa dan menewaskan 1400 orang, merupakan letusan dengan catatan korban terbesar hingga sekarang.[rujukan?]
Letusan bulan November 1994 menyebabkan luncuran awan panas ke bawah hingga menjangkau beberapa desa dan memakan korban 60 jiwa manusia. Letusan 19 Juli 1998 cukup besar namun mengarah ke atas sehingga tidak memakan korban jiwa. Catatan letusan terakhir gunung ini adalah pada tahun 2001-2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus. Pada tahun 2006 Gunung Merapi kembali beraktivitas tinggi dan sempat menelan dua nyawa sukarelawan di kawasan Kaliadem karena terkena terjangan awan panas. Rangkaian letusan pada bulan Oktober dan November 2010 dievaluasi sebagai yang terbesar sejak letusan 1872 dan memakan korban nyawa 273 orang (per 17 November 2010), meskipun telah diberlakukan pengamatan yang intensif dan persiapan manajemen pengungsian. Letusan 2010 juga teramati sebagai penyimpangan dari letusan "tipe Merapi" karena bersifat eksplosif disertai suara ledakan dan gemuruh yang terdengar hingga jarak 20-30 km.
Gunung ini dimonitor non-stop oleh Pusat Pengamatan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta, dibantu dengan berbagai instrumen geofisika telemetri di sekitar puncak gunung serta sejumlah pos pengamatan visual dan pencatat kegempaan di Ngepos (Srumbung), Babadan, dan Kaliurang.

Erupsi 2006

Di bulan April dan Mei 2006, mulai muncul tanda-tanda bahwa Merapi akan meletus kembali, ditandai dengan gempa-gempa dan deformasi. Pemerintah daerah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta sudah mempersiapkan upaya-upaya evakuasi. Instruksi juga sudah dikeluarkan oleh kedua pemda tersebut agar penduduk yang tinggal di dekat Merapi segera mengungsi ke tempat-tempat yang telah disediakan.
Pada tanggal 15 Mei 2006 akhirnya Merapi meletus. Lalu pada 4 Juni, dilaporkan bahwa aktivitas Gunung Merapi telah melampaui status awas. Kepala BPPTK Daerah Istimewa Yogyakarta, Ratdomo Purbo menjelaskan bahwa sekitar 2-4 Juni volume lava di kubah Merapi sudah mencapai 4 juta meter kubik - artinya lava telah memenuhi seluruh kapasitas kubah Merapi sehingga tambahan semburan lava terbaru akan langsung keluar dari kubah Merapi.
1 Juni, Hujan abu vulkanik dari luncuran awan panas Gunung Merapi yang lebat, tiga hari belakangan ini terjadi di Kota Magelang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Muntilan sekitar 14 kilometer dari Puncak Merapi, paling merasakan hujan abu ini.
8 Juni, Gunung Merapi pada pukul 09:03 WIB meletus dengan semburan awan panas yang membuat ribuan warga di wilayah lereng Gunung Merapi panik dan berusaha melarikan diri ke tempat aman. Hari ini tercatat dua letusan Merapi, letusan kedua terjadi sekitar pukul 09:40 WIB. Semburan awan panas sejauh 5 km lebih mengarah ke hulu Kali Gendol (lereng selatan) dan menghanguskan sebagian kawasan hutan di utara Kaliadem di wilayah Kabupaten Sleman.

Erupsi 2010

Peningkatan status dari "normal aktif" menjadi "waspada" pada tanggal 20 September 2010 direkomendasi oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Setelah sekitar satu bulan, pada tanggal 21 Oktober status berubah menjadi "siaga" sejak pukul 18.00 WIB. Pada tingkat ini kegiatan pengungsian sudah harus dipersiapkan. Karena aktivitas yang semakin meningkat, ditunjukkan dengan tingginya frekuensi gempa multifase dan gempa vulkanik, sejak pukul 06.00 WIB tangggal 25 Oktober BPPTK Yogyakarta merekomendasi peningkatan status Gunung Merapi menjadi "awas" dan semua penghuni wilayah dalam radius 10 km dari puncak harus dievakuasi dan diungsikan ke wilayah aman.
Erupsi pertama terjadi sekitar pukul 17.02 WIB tanggal 26 Oktober. Sedikitnya terjadi hingga tiga kali letusan. Letusan menyemburkan material vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km dan disertai keluarnya awan panas yang menerjang Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. dan menelan korban 43 orang, ditambah seorang bayi dari Magelang yang tewas karena gangguan pernafasan.
Sejak saat itu mulai terjadi muntahan awan panas secara tidak teratur. Mulai 28 Oktober, Gunung Merapi memuntahkan lava pijar yang muncul hampir bersamaan dengan keluarnya awan panas pada pukul 19.54 WIB.Selanjutnya mulai teramati titik api diam di puncak pada tanggal 1 November, menandai fase baru bahwa magma telah mencapai lubang kawah.
Namun demikian, berbeda dari karakter Merapi biasanya, bukannya terjadi pembentukan kubah lava baru, malah yang terjadi adalah peningkatan aktivitas semburan lava dan awan panas sejak 3 November. Erupsi eksplosif berupa letusan besar diawali pada pagi hari Kamis, 4 November 2010, menghasilkan kolom awan setinggi 4 km dan semburan awan panas ke berbagai arah di kaki Merapi. Selanjutnya, sejak sekitar pukul tiga siang hari terjadi letusan yang tidak henti-hentinya hingga malam hari dan mencapai puncaknya pada dini hari Jumat 5 November 2010. Menjelang tengah malam, radius bahaya untuk semua tempat diperbesar menjadi 20 km dari puncak. Rangkaian letusan ini serta suara gemuruh terdengar hingga Kota Yogyakarta (jarak sekitar 27 km dari puncak), Kota Magelang, dan pusat Kabupaten Wonosobo (jarak 50 km). Hujan kerikil dan pasir mencapai Kota Yogyakarta bagian utara, sedangkan hujan abu vulkanik pekat melanda hingga Purwokerto dan Cilacap. Pada siang harinya, debu vulkanik diketahui telah mencapai Tasikmalaya, Bandung, dan Bogor.
Bahaya sekunder berupa aliran lahar dingin juga mengancam kawasan lebih rendah setelah pada tanggal 4 November terjadi hujan deras di sekitar puncak Merapi. Pada tanggal 5 November Kali Code di kawasan Kota Yogyakarta dinyatakan berstatus "awas" (red alert).[rujukan?]
Letusan kuat 5 November diikuti oleh aktivitas tinggi selama sekitar seminggu, sebelum kemudian terjadi sedikit penurunan aktivitas, namun status keamanan tetap "Awas". Pada tanggal 15 November 2010 batas radius bahaya untuk Kabupaten Magelang dikurangi menjadi 15 km dan untuk dua kabupaten Jawa Tengah lainnya menjadi 10 km. Hanya bagi Kab. Sleman yang masih tetap diberlakukan radius bahaya 20 km.[16]

Vegetasi

Gunung Merapi di bagian puncak tidak pernah ditumbuhi vegetasi karena aktivitas yang tinggi. Jenis tumbuhan di bagian teratas bertipe alpina khas pegunungan Jawa, seperti Rhododendron dan edeweis jawa. Agak ke bawah terdapat hutan bambu dan tetumbuhan pegunungan tropika.
Lereng Merapi, khususnya di bawah 1.000 m, merupakan tempat asal dua kultivar salak unggul nasional, yaitu salak 'Pondoh' dan 'Nglumut'.

Rute pendakian

Gunung Merapi merupakan obyek pendakian yang populer. karena gunung ini merupakan gunung yang sangat mempesona. Jalur pendakian yang paling umum dan dekat adalah melalui sisi utara dari Sèlo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Tlogolele. Desa ini terletak di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Pendakian melalui Selo memakan waktu sekitar lima jam hingga ke puncak.
Jalur populer lain adalah melalui Kaliurang, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta di sisi selatan. Jalur ini lebih terjal dan memakan waktu sekitar 6-7 jam hingga ke puncak. Jalur alternatif yang lain adalah melalui sisi barat laut, dimulai dari Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan melalui sisi tenggara, dari arah Deles, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.


  • Galeri

Foto-foto Merapi dari sisi sebelah utara, setelah letusan 2006.

Selasa, 05 April 2011

Bencana Serangan Ulat Bulu di Probolinggo

Pembasmian Ulat Bulu di Probolinggo Terkendala Cuaca


Pohon mangga meranggas diserang ulat/ Rois Jajeli
Probolinggo - Kecamatan Tegal Siwalan Probolinggo merupakan salah satu dari 4 kecamatan di Probolinggo yang terkena serangan jutaan ulat bulu. Dari 12 desa yang ada di Kecamatan Tegal Siwalan, ada 8 desa yang terkena serangan.

Dan yang paling parah ada di Desa Tegal Siwalan dan Desa Banjar Sawah. Sedangkan 6 desa lainnya yang terkena serangan meski tak terlalu parah adalah Desa Sumberbulu, Sumberkledung, Paras, Bladokulon, Bullu Aran Lor.

"Kami bersama dengan dinas pertanian terus melakukan penyemprotan secara bertahap dari desa ke desa," kata Camat Tegal Siwalan, Totok Hariyanto Enggal kepada detiksurabaya.com di kantornya, Jumat (1/4/2011).

Totok mengatakan teknis penyemprotan bertahap itu karena melihat kondisi personel yang terbatas. "Tidak bisa bersamaan karena jumlah personel. Apalagi kendalanya masih sering terjadi hujan sehingga akan mempengaruhi proses penyemprotan. Terkadang baru disemprot, nggak lama turun hujan," tambah Totok.

Totok menjelaskan bahwa pestisida yang disemprotkan membikin badan ulat panas dan dalam waktu sekitar 2 jam ulat akan mati. Tetapi badan ulat akan kembali dingin saat hujan yang turun membasahi tubuhnya.

Totok mengatakan upaya penyemprotan yang dilakukan petugas yakni menyemprot pohon mangga yang belum terkena serangan. "Contohnya ada 2 pohon yang diserang dan yang belum. Kami semprot yang belum terkena serangan ulat. Kenapa, agar ulat tak berpindah ke pohon yang sudah terkena obat," terang Totok.

Totok mengatakan bahwa dampak serangan ulat itu tak terlalu signifikan pada sisi ekonomi warga. Pasalnya pohon mangga bukanlah mata pencaharian pokok warga Tegal Siwalan.

"Saya kira dampaknya tak terlalu besar. Warga tetap bisa beraktivitas. Pencaharian pokok warga sini adalah bertani padi dan bawang merah," tandas Totok.

kebakaran tangki di CILACAP

Kebakaran di Pertamina Cilacap Padam, Penduduk Pulang ke Rumah 



 Kebakaran di Pertamina Cilacap Padam, Penduduk Pulang ke Rumah
Jakarta - Hujan menjadi berkah bagi Pertamina. Kilang minyaknya yang terbakar padam setelah hujan deras semalam. Warga sekitar kilang Pertamina Cilacap pun mulai kembali ke rumah masing-masing.

"Evakuasi penduduk ke rumah masing-masing sudah dimulai semalam sampai hari ini. Kita sudah koordinasi dengan Polda Jateng dan Danrem," ujar Manajer Media Pertamina Wianda Pusponegoro,kepada wartawan di Pertamina Cilacap, Jateng, Rabu (6/3/2011).

Wianda menuturkan, Pertamina sudah memberikan perhatian maksimal kepada para pengungsi. Pertamina belum membicarakan masalah ganti rugi warga yang sudah mengungsi selama beberapa hari karena ledakan dan kebakaran di tangki milik Pertamina Cilacap.

"Kami sudah ada tim untuk memantau. Kita sudah memberikan makanan dan fasilitas. Untuk masalah ganti rugi nanti kita cek secara internal," ujar Wianda.

Ia menuturkan semua tangki yang terbakar sudah terkendali. Saat ini Pertamina terus melakukan penyemprotan foam pemadam untuk menjaga temperatur tangki.

"Tiga tangki yang sempat terbakar sudah under control. Sekarang ini kami terus menjaga temperatur tangki agar dibawah 50 derajad," jelasnya.

Jumat, 01 April 2011

misteri segitiga bermuda

Segitiga Bermuda (bahasa Inggris: Bermuda Triangle), kadang-kadang disebut juga Segitiga Setan adalah sebuah wilayah lautan di Samudra Atlantik seluas 1,5 juta mil2 atau 4 juta km2 yang membentuk garis segitiga antara Bermuda, wilayah teritorial Britania Raya sebagai titik di sebelah utara, Puerto Riko, teritorial Amerika Serikat sebagai titik di sebelah selatan dan Miami, negara bagian Florida, Amerika Serikat sebagai titik di sebelah barat.
Segitiga bermuda sangat misterius. Sering ada isu paranormal di daerah tersebut yang menyatakan alasan dari peristiwa hilangnya kapal yang melintas. Ada pula yang mengatakan bahwa sudah menjadi gejala alam bahwa tidak boleh melintasi wilayah tersebut. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa itu semua akibat ulah makhluk luar angkasa

Sejarah awal

Pada masa pelayaran Christopher Colombus, ketika melintasi area segitiga Bermuda, salah satu awak kapalnya mengatakan melihat “cahaya aneh berkemilau di cakrawala”. Beberapa orang mengatakan telah mengamati sesuatu seperti meteor. Dalam catatannya ia menulis bahwa peralatan navigasi tidak berfungsi dengan baik selama berada di area tersebut.
Berbagai peristiwa kehilangan di area tersebut pertama kali didokumentasikan pada tahun 1951 oleh E.V.W. Jones dari majalah Associated Press. Jones menulis artikel mengenai peristiwa kehilangan misterius yang menimpa kapal terbang dan laut di area tersebut dan menyebutnya ‘Segitiga Setan’. Hal tersebut diungkit kembali pada tahun berikutnya oleh Fate Magazine dengan artikel yang dibuat George X. Tahun 1964, Vincent Geddis menyebut area tersebut sebagai ‘Segitiga Bermuda yang mematikan’, setelah istilah ‘Segitiga Bermuda’ menjadi istilah yang biasa disebut. Segitiga bermuda merupakan suatu tempat dimana di dasar laut tersebut terdapat sebuah piramid besar mungkin lebih besar dari piramid yang ada di Kairo Mesir. Piramid tersebut mempunyai jarak antara ujung piramid dan permukaan laut sekitar 500 m, di ujung piramid trsebut terdapat dua rongga lubang lebih besar.

Penjelasan beberapa sumber

Berikut adalah penjelasan dari beberapa narasumber yang menyatakan keanehan Segitiga Bermuda bahwa di sana terdapat gas methan, dianggap kapal yang hilang di sana telah melampaui batas kargo, Pangkalan UFO, tempat berkumpulnya para setan golongan Jin (Istana Setan) dan ada yang mengatakan bahwa di sanalah terletak telaga "Air Kehidupan" yang sanggup membuat awet muda dan panjang umur.

Muatan berlebih


Peta tempat-tempat yang mengandung gas methana
Perusahaan asuransi laut Lloyd's of London menyatakan bahwa segitiga bermuda bukanlah lautan yang berbahaya dan sama seperti lautan biasa di seluruh dunia, asalkan tidak membawa angkutan melebihi ketentuan ketika melalui wilayah tersebut. Penjaga pantai mengkonfirmasi keputusan tersebut. Penjelasan tersebut dianggap masuk akal, ditambah dengan sejumlah pengamatan dan penyelidikan kasus.

Gas Methana dan pusaran air

Penjelasan lain dari beberapa peristiwa lenyapnya pesawat terbang dan kapal laut secara misterius adalah adanya gas metana di wilayah perairan tersebut. Teori ini dipublikasikan untuk pertama kali tahun 1981 oleh Badan Penyelidikan Geologi Amerika Serikat. Teori ini berhasil diuji coba di laboratorium dan hasilnya memuaskan beberapa orang tentang penjelasan yang masuk akal seputar misteri lenyapnya pesawat-pesawat dan kapal laut yang melintas di wilayah tersebut.
Menurut Bill Dillon dari U.S Geological Survey, air bercahaya putih itulah penyebabnya. Didaerah segitiga maut Bermuda, tapi juga di beberapa daerah lain sepanjang tepi pesisir benua, terdapat "tambang metana". tambang ini terbentuk kalau gas metana menumpuk di bawah dasar laut yg tak dapat ditembusnya. Gas ini dapat lolos tiba2 kalau dasar laut retak. Lolosnya tdk kepalang tangung. Dengan kekuatan yg luar biasa, tumpukan gas itu menyembur ke permukaan sambil merebus air, membentuk senyawaan metanahidrat.
Air yang dilalui gas ini mendidih sampai terlihat sebagai "air bercahaya putih". Blow out serupa yg pernah terjadi dilaut Kaspia sudah banyak menelan anjungan pengeboran minyak sebagai korban. Regu penyelamat yang dikerahkan tidak menemukan sisa sama sekali. Mungkin karena alat dan manusia yang menjadi korban tersedot pusaran air, dan jatuh kedalam lubang bekas retakan dasar laut, lalu tanah dan air yg semula naik ke atas tapi kemudian mengendap lagi didasar laut, menimbun mereka semua.

Gempa laut dan gelombang besar

Teori ini mengatakan gesekan dan goncangan di tanah di dasar Lautan Atlantik menghasilkan gelombang dahsyat dan seketika kapal-kapal menjadi hilang kendali dan langsung menuju dasar laut dengan kuat hanya dalam beberapa detik. Adapun hubungannya dengan pesawat, maka goncangan dan gelombang kuat tersebut menyebabkan hilangnya keseimbangan pesawat serta tidak adanya kemampuan bagi pilot untuk menguasai pesawat.

Gravitasi

Gravitasi (medan graviti terbalik, anomali magnetik graviti) dan hubungannya dengan apa yang terjadi di Segitiga Bermuda; sesungguhnya kompas dan alat navigasi elektronik lainnya di dalam pesawat pada saat terbang di atas Segitiga Bermuda akan goncang dan bergerak tidak normal, begitu juga dengan kompas pada kapal, yang menunjukkan kuatnya daya magnet dan anehnya gravitasi yang terbalik.

Pangkalan U.F.O.

Pemerintah dan Akademis Independen A.S. mengatakan Segitiga Bermuda disebabkan karena tempat tersebut merupakan Pangkalan UFO sekelompok mahkluk luar angkasa/alien yang tidak mau diusik oleh manusia, sehingga kendaraan apapun yang melewati teritorial tersebut akan terhisap dan diculik. Ada yang mengatakan bahwa penyebabnya dikarenakan oleh adanya sumber magnet terbesar di bumi yang tertanam di bawah Segitiga Bermuda, sehingga logam berton-tonpun dapat tertarik ke dalam.

 Istana Setan

Dalam hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad, dikatakan bahwa pertemuan antara suhu panas dan dingin (sejuk) adalah ikatakan larangan ini karena tempat seperti itu adalah tempat yang paling digemari oleh Setan.[1] Karena menurut beberapa pendapat ada yang mengatakan bahwa Segitiga Bermuda merupakan pusat bertemunya antara arus air dingin dengan arus air panas, sehingga akan mengakibatkan pusaran air yang besar/dasyat. Karena bermuda terletak di perairan Atlantik di pertengahan antara benua Amerika bagian utara dan Afrika. Secara mudah lokasi ini adalah kawasan pertembungan dua arus panas dari Afrika dan sejuk dari Amerika Utara.
Menurut beberapa orang muslim meyakini dengan hadist ini yang dianggap telah terjawab tentang misteri Segitiga Bermuda. Perkara-perkara aneh yang sering terjadi itu tentu antara lain disebabkan pertembungan antara panas dan sejuk dan menganggap Istana Setan terletak secara tersembunyi di situ. Kemudian dikatakan pula bahwa Dajjal pada saat sekarang menetap di Segitiga Bermuda itu sampai pada menjelang akhir zaman ia akan keluar.

Air Kehidupan

Menurut Syaikh Imam M. Ma’rifatullah al-Arsy, segitiga bermuda merupan tempat titik terujung di dunia ini. Di tengah kawasan itu terdapat sebuah telaga yang airnya dapat membuat siapa saja yg meminumnya menjadi panjang umur, ditempat itu pula Nabi Khidzir bertahta sebagai penjaga sumber "Air Kehidupan" tersebut. Syaikh Imam Ma’rifatullah berkata kalau penyelamat akhir Zaman Imam Mahdi akan keluar dari Ghaibnya melalui tempat tersebut dengan menggunakan jubah suci berwarna kebiruan.

Tempat yang indah dan berbahaya

Menurut sebuah naskah kuno menyatakan bahwa Raja Iskandar Agung pernah mencoba masuk ke kawasan agung itu dan sekembalinya mereka mengatakan bahwa tempat itu berpasirkan permata dan berbatukan berlian. Tempat yang dipenuhi dengan kabut putih tebal itu sangat indah untuk dipandang tapi sangat berbahaya untuk di datangi.

Lorong waktu

Dalam sejarah, orang, kapal-kapal, pesawat terbang dan lain-lain sebagainya yang hilang secara misterius seperti yang sering kita dengar di perairan Segitiga Bermuda, sebenarnya adalah masuk ke dalam lorong waktu yang misterius ini.
Seorang ilmuwan Amerika yang bernama Ado Snandick berpendapat, mata manusia tidak bisa melihat keberadaan suatu benda dalam ruang lain, itulah obyektifitas keberadaan lorong waktu.
Dalam penyelidikannya terhadap lorong waktu, John Buckally mengemukakan teori hipotesanya sebagai berikut:
  • Obyektifitas keberadaan lorong waktu adalah bersifat kematerialan, tidak terlihat, tidak dapat disentuh, tertutup untuk dunia fana kehidupan umat manusia, namun tidak mutlak, karena kadang-kadang ia akan membukanya.
  • Lorong waktu dengan dunia manusia bukanlah suatu sistem waktu, setelah memasuki seperangkat sistem waktu, ada kemungkinan kembali ke masa lalu yang sangat jauh, atau memasuki masa depan, karena di dalam lorong waktu tersebut, waktu dapat bersifat searah maupun berlawanan arah, bisa bergerak lurus juga bisa berbalik, dan bahkan bisa diam membeku.
  • Terhadap dunia fana (ruang fisik kita) di bumi, jika memasuki lorong waktu, berarti hilang secara misterius, dan jika keluar dari lorong waktu itu, maka artinya adalah muncul lagi secara misterius.
Disebabkan lorong waktu dan bumi bukan merupakan sebuah sistem waktu, dan karena waktu bisa diam membeku, maka meskipun telah hilang selama 3 tahun, 5 tahun, bahkan 30 atau 50 tahun, waktunya sama seperti dengan satu atau setengah hari.
Meskipun beberapa teori dilontarkan, namun tidak ada yang memuaskan sebab munculnya tambahan seperti benda asing bersinar yang mengelilingi pesawat sebelum kontak dengan menara pengawas terputus dan pesawat lenyap.

Penemuan Piramida di Segitiga Bermuda

Beberapa ilmuwan Amerika, Perancis dan negara lainnya pada saat melakukan survey di area dasar laut Segitiga Bermuda, Samudera Atlantik, menemukan sebuah piramida berdiri tegak di dasar laut yang tak pernah diketahui orang. Panjang sisi dasar piramida ini mencapai 300 meter, tingginya 200 meter, dan jarak ujung piramida ini dari permukaan laut sekitar 100 meter. Ukuran, piramida ini lebih besar skalanya dibandingkan dengan piramida Mesir kuno yang ada di darat.
Di atas piramida terdapat dua buah lubang yang sangat besar, air laut dengan kecepatan tinggi melalui kedua lubang ini, dan oleh karena itu ombak yang besar dapat membentuk pusaran raksasa yang membuat perairan di sekitar ini menimbulkan ombak yang dahsyat menggelora dan badai pada permukaan laut.
Ada beberapa ilmuwan Barat yang berpendapat bahwa Piramida di dasar laut ini mungkin awalnya dibuat di atas daratan, lalu terjadi gempa bumi yang dahsyat, dan menggelamkan daratan ke dasar laut seiring dengan perubahan penurunan permukaan tanah. Ilmuwan lainnya berpendapat bahwa beberapa ratus tahun yang silam perairan di area Segitiga Bermuda dianggap pernah menjadi sebagai salah satu landasan aktivitas bangsa Atlantis, dan Piramida di dasar laut tersebut mungkin sebuah gudang pemasokan mereka.
Ada juga yang curiga bahwa Piramida kemungkinan adalah sebuah tanah suci yang khusus dilindungi oleh bangsa Atlantis pada tempat yang mempunyai sejenis kekuatan dan sifat khas energi kosmosnya, Piramida itu bisa menarik dan mengumpulkan sinar kosmos, medan energi atau energi gelombang lain yang belum diketahui dan struktur pada bagian dalamnya mungkin adalah resonansi gelombang mikro, yang memiliki efek terhadap suatu benda dan menghimpun sumber energi lainnya.
Li Hongzhi dalam buku yang berjudul Zhuan Falun mempunyai penjelasan tentang penemuan peradaban prasejarah sebagai berikut; “Di atas bumi ada benua Asia, Eropa, Amerika Selatan, Amerika Utara, Oceania, Afrika dan benua Antartika, yang oleh ilmuwan geologi secara umum disebut ‘lempeng kontinental’. Sejak terbentuknya lempeng kontinental sampai sekarang, sudah ada sejarah puluhan juta tahun. Dapat dikatakan pula bahwa banyak daratan berasal dari dasar laut yang naik ke atas, ada juga banyak daratan yang tenggelam ke dasar laut, sejak kondisi ini stabil sampai keadaan sekarang, sudah bersejarah puluhan juta tahun.
Namun di banyak dasar laut, telah ditemukan sejumlah bangunan yang tinggi besar dengan pahatan yang sangat indah, dan bukan berasal dari warisan budaya umat manusia modern, jadi pasti bangunan yang telah dibuat sebelum ia tenggelam ke dasar laut.” Dipandang dari sudut ini, misteri asal mula Piramida dasar laut ini sudah dapat dipecahkan.

Peristiwa-peristiwa terkenal

Penerbangan 19


Pesawat pada penerbangan TBF Grumman Avenger, mirip dengan penerbangan 19
Salah satu kisah yang terkenal dan bertahan lama dalam banyaknya kasus misterius mengenai hilangnya pesawat-pesawat dan kapal-kapal yang melintas di segitiga bermuda adalah Penerbangan 19. Penerbangan 19 merupakan kesatuan angkatan udara dari lima pesawat pembom angkatan laut Amerika Serikat.
Penerbangan itu terakhir kali terlihat saat lepas landas di Fort Lauderdale, Florida pada tanggal 5 Desember 1945. Pesawat-pesawat pada Penerbangan 19 dibuat secara sistematis oleh orang-orang yang ahli penerbangan dan kelautan untuk mengahadapi situasi buruk, namun tiba-tiba dengan mudah menghilang setelah mengirimkan laporan mengenai gejala pandangan yang aneh, dianggap tidak masuk akal.
Karena pesawat-pesawat pada Penerbangan 19 dirancang untuk dapat mengapung di lautan dalam waktu yang lama, maka penyebab hilangnya dianggap karena penerbangan tersebut masih mengapung-apung di lautan menunggu laut yang tenang dan langit yang cerah.
Setelah itu, dikirimkan regu penyelamat untuk menjemput penerbangan tersebut, namun tidak hanya pesawat Penerbangan 19 yang belum ditemukan, regu penyelamat juga ikut lenyap. Karena kecelakaan dalam angkatan laut ini misterius, maka dianggap "penyebab dan alasannya tidak diketahui".
Dan juga ditemukan adanya kaitan segitiga bermuda dengan atlantis yang ditemukan adanya penemuan kota-kota kuno dan berbagai bangunan di segitiga bermuda tersebut". Atlantis yang diduga tenggelam dalam waktu satu hari satu malam diduga kuat tenggelam di segitiga bermuda dan beberapa kawasan lainnya yang mirip dengan kejadian yang ada pada segitiga bermuda tersebut salah satunya yaitu di Indonesia, Malaysia, India, dan lainnya".

 Kronologi dari beberapa peristiwa terkenal

  • 1840: HMS Rosalie
  • 1872: The Mary Celeste, salah satu misteri terbesar lenyapnya beberapa kapal di segitiga bermuda
  • 1909: The Spray
  • 1917: SS Timandra
  • 1918: USS Cyclops (AC-4) lenyap di laut berbadai, namun sebelum berangkat menara pengawas mengatakan bahwa lautan tenang sekali, tidak mungkin terjadi badai, sangat baik untuk pelayaran
  • 1926: SS Suduffco hilang dalam cuaca buruk
  • 1938: HMS Anglo Australian menghilang. Padahal laporan mengatakan cuaca hari itu sangat tenang
  • 1945: Penerbangan 19 menghilang
  • 1952: Pesawat British York transport lenyap dengan 33 penumpang
  • 1962: US Air Force KB-50, sebuah kapal tanker, lenyap
  • 1970: Kapal barang Perancis, Milton Latrides lenyap; berlayar dari New Orleans menuju Cape Town.
  • 1972: Kapal Jerman, Anita (20.000 ton), menghilang dengan 32 kru
  • 1976: SS Sylvia L. Ossa lenyap dalam laut 140 mil sebelah barat Bermuda.
  • 1978: Douglas DC-3 Argosy Airlines Flight 902, menghilang setelah lepas landas dan kontak radio terputus
  • 1980: SS Poet; berlayar menuju Mesir, lenyap dalam badai
  • 1995: Kapal Jamanic K (dibuat tahun 1943) dilaporkan menghilang setelah melalui Cap Haitien
  • 1997: Para pelayar menghilang dari kapal pesiar Jerman
  • 1999: Freighter Genesis hilang setelah berlayar dari Port of Spain menuju St Vincent.

Minggu, 13 Maret 2011

global warming

1880-2010 global annual mean surface air temperature change relative to the 1951–1980 average. The red line is the 5-year running mean (temperature averaged over 5 years). Source: NASA GISS
Comparison of surface based (blue) and satellite based (red: UAH; green: RSS) records of global temperature change since 1979. Linear trends plotted since 1982.
2000-2009 global mean land-ocean surface temperature anomalies relative to the 1951-1980 average. Source: NASA Earth Observatory 
Global warming is the increase in the average temperature of Earth's near-surface air and oceans since the mid-20th century and its projected continuation. According to the 2007 Fourth Assessment Report by the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), global surface temperature increased by 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) during the 20th century. Most of the observed temperature increase since the middle of the 20th century has been caused by increasing concentrations of greenhouse gases, which result from human activities such as the burning of fossil fuel and deforestation. Global dimming, a phenomenon of increasing atmospheric concentrations of man-made aerosols, which affect cloud properties and block sunlight from reaching the surface, has partially countered the effects of warming induced by greenhouse gases.
Climate model projections summarized in the latest IPCC report indicate that the global surface temperature is likely to rise a further 1.1 to 6.4 °C (2.0 to 11.5 °F) during the 21st century. The uncertainty in this estimate arises from the use of models with differing sensitivity to greenhouse gas concentrations and the use of differing estimates of future greenhouse gas emissions. An increase in global temperature will cause sea levels to rise and will change the amount and pattern of precipitation, probably including expansion of subtropical deserts.[5] Warming is expected to be strongest in the Arctic and would be associated with continuing retreat of glaciers, permafrost and sea ice. Other likely effects include more frequent and intense extreme weather events, species extinctions, and changes in agricultural yields. Warming and related changes will vary from region to region around the globe, though the nature of these regional variations is uncertain.As a result of contemporary increases in atmospheric carbon dioxide, the oceans have become more acidic, a result that is predicted to continue.
The scientific consensus is that anthropogenic global warming is occurring. Nevertheless, skepticism amongst the wider public remains. The Kyoto Protocol is aimed at stabilizing greenhouse gas concentration to prevent a "dangerous anthropogenic interference". As of November 2009, 187 states had signed and ratified the protocol.
Proposed responses to climate change include mitigation to reduce emissions, adaptation to the effects of global warming, and geoengineering to remove greenhouse gases from the atmosphere or block incoming sunlight.

Temperature changes

Two millennia of mean surface temperatures according to different reconstructions, each smoothed on a decadal scale, with the instrumemtal temperature record overlaid in black.
Evidence for warming of the climate system includes observed increases in global average air and ocean temperatures, widespread melting of snow and ice, and rising global average sea level.[14][15][16][17] The most common measure of global warming is the trend in globally averaged temperature near the Earth's surface. Expressed as a linear trend, this temperature rose by 0.74 ± 0.18 °C over the period 1906–2005. The rate of warming over the last half of that period was almost double that for the period as a whole (0.13 ± 0.03 °C per decade, versus 0.07 °C ± 0.02 °C per decade). The urban heat island effect is estimated to account for about 0.002 °C of warming per decade since 1900.[18] Temperatures in the lower troposphere have increased between 0.13 and 0.22 °C (0.22 and 0.4 °F) per decade since 1979, according to satellite temperature measurements. Temperature is believed to have been relatively stable over the one or two thousand years before 1850, with regionally varying fluctuations such as the Medieval Warm Period and the Little Ice Age.[19]
Estimates by NASA's Goddard Institute for Space Studies (GISS) and the National Climatic Data Center show that 2005 was the warmest year since reliable, widespread instrumental measurements became available in the late 19th century, exceeding the previous record set in 1998 by a few hundredths of a degree.[20][21] Estimates prepared by the World Meteorological Organization and the Climatic Research Unit show 2005 as the second warmest year, behind 1998.[22][23] Temperatures in 1998 were unusually warm because the strongest El Niño in the past century occurred during that year.Global temperature is subject to short-term fluctuations that overlay long term trends and can temporarily mask them. The relative stability in temperature from 2002 to 2009 is consistent with such an episode.
Temperature changes vary over the globe. Since 1979, land temperatures have increased about twice as fast as ocean temperatures (0.25 °C per decade against 0.13 °C per decade) Ocean temperatures increase more slowly than land temperatures because of the larger effective heat capacity of the oceans and because the ocean loses more heat by evaporation. The Northern Hemisphere warms faster than the Southern Hemisphere because it has more land and because it has extensive areas of seasonal snow and sea-ice cover subject to ice-albedo feedback. Although more greenhouse gases are emitted in the Northern than Southern Hemisphere this does not contribute to the difference in warming because the major greenhouse gases persist long enough to mix between hemispheres.
The thermal inertia of the oceans and slow responses of other indirect effects mean that climate can take centuries or longer to adjust to changes in forcing. Climate commitment studies indicate that even if greenhouse gases were stabilized at 2000 levels, a further warming of about 0.5 °C (0.9 °F) would still occur.

External forcings

External forcing refers to processes external to the climate system (though not necessarily external to Earth) that influence climate. Climate responds to several types of external forcing, such as radiative forcing due to changes in atmospheric composition (mainly greenhouse gas concentrations), changes in solar luminosity, volcanic eruptions, and variations in Earth's orbit around the Sun.[31] Attribution of recent climate change focuses on the first three types of forcing. Orbital cycles vary slowly over tens of thousands of years and thus are too gradual to have caused the temperature changes observed in the past century.

Greenhouse gases

Greenhouse effect schematic showing energy flows between space, the atmosphere, and earth's surface. Energy exchanges are expressed in watts per square meter (W/m2).
Recent atmospheric carbon dioxide (CO2) increases. Monthly CO2 measurements display seasonal oscillations in an upward trend; each year's maximum occurs during the Northern Hemisphere's late spring, and declines during its growing season as plants remove some atmospheric CO2.
The greenhouse effect is the process by which absorption and emission of infrared radiation by gases in the atmosphere warm a planet's lower atmosphere and surface. It was proposed by Joseph Fourier in 1824 and was first investigated quantitatively by Svante Arrhenius in 1896
Naturally occurring greenhouse gases have a mean warming effect of about 33 °C (59 °F). The major greenhouse gases are water vapor, which causes about 36–70 percent of the greenhouse effect; carbon dioxide (CO2), which causes 9–26 percent; methane (CH4), which causes 4–9 percent; and ozone (O3), which causes 3–7 percent.[34][35][36] Clouds also affect the radiation balance, but they are composed of liquid water or ice and so have different effects on radiation from water vapor.
Human activity since the Industrial Revolution has increased the amount of greenhouse gases in the atmosphere, leading to increased radiative forcing from CO2, methane, tropospheric ozone, CFCs and nitrous oxide. The concentrations of CO2 and methane have increased by 36% and 148% respectively since 1750.[37] These levels are much higher than at any time during the last 650,000 years, the period for which reliable data has been extracted from ice cores.Less direct geological evidence indicates that CO2 values higher than this were last seen about 20 million years ago. Fossil fuel burning has produced about three-quarters of the increase in CO2 from human activity over the past 20 years. Most of the rest is due to land-use change, particularly deforestation.
Over the last three decades of the 20th century, GDP per capita and population growth were the main drivers of increases in greenhouse gas emissions. CO2 emissions are continuing to rise due to the burning of fossil fuels and land-use change.:71 Emissions scenarios, estimates of changes in future emission levels of greenhouse gases, have been projected that depend upon uncertain economic, sociological, technological, and natural developments. In most scenarios, emissions continue to rise over the century, while in a few, emissions are reduced. These emission scenarios, combined with carbon cycle modelling, have been used to produce estimates of how atmospheric concentrations of greenhouse gases will change in the future. Using the six IPCC SRES "marker" scenarios, models suggest that by the year 2100, the atmospheric concentration of CO2 could range between 541 and 970 ppm.[49] This is an increase of 90-250% above the concentration in the year 1750. Fossil fuel reserves are sufficient to reach these levels and continue emissions past 2100 if coal, oil sands or methane clathrates are extensively exploited.[50]
The destruction of stratospheric ozone by chlorofluorocarbons is sometimes mentioned in relation to global warming. Although there are a few areas of linkage, the relationship between the two is not strong. Reduction of stratospheric ozone has a cooling influence.[51] Substantial ozone depletion did not occur until the late 1970s.[52] Ozone in the troposphere (the lowest part of the Earth's atmosphere) does contribute to surface warming.[53]

Aerosols and soot

Ship tracks over the Atlantic Ocean on the east coast of the United States. The climatic impacts from aerosol forcing could have a large effect on climate through the indirect effect.
Global dimming, a gradual reduction in the amount of global direct irradiance at the Earth's surface, has partially counteracted global warming from 1960 to the present The main cause of this dimming is aerosols produced by volcanoes and pollutants. These aerosols exert a cooling effect by increasing the reflection of incoming sunlight. The effects of the products of fossil fuel combustion—CO2 and aerosols—have largely offset one another in recent decades, so that net warming has been due to the increase in non-CO2 greenhouse gases such as methane. Radiative forcing due to aerosols is temporally limited due to wet deposition which causes aerosols to have an atmospheric lifetime of one week. Carbon dioxide has a lifetime of a century or more, and as such, changes in aerosol concentrations will only delay climate changes due to carbon dioxide.
In addition to their direct effect by scattering and absorbing solar radiation, aerosols have indirect effects on the radiation budget. Sulfate aerosols act as cloud condensation nuclei and thus lead to clouds that have more and smaller cloud droplets. These clouds reflect solar radiation more efficiently than clouds with fewer and larger droplets.[58] This effect also causes droplets to be of more uniform size, which reduces growth of raindrops and makes the cloud more reflective to incoming sunlight.Indirect effects are most noticeable in marine stratiform clouds, and have very little radiative effect on convective clouds. Aerosols, particularly their indirect effects, represent the largest uncertainty in radiative forcing
Soot may cool or warm the surface, depending on whether it is airborne or deposited. Atmospheric soot aerosols directly absorb solar radiation, which heats the atmosphere and cools the surface. In isolated areas with high soot production, such as rural India, as much as 50% of surface warming due to greenhouse gases may be masked by atmospheric brown clouds.When deposited, especially on glaciers or on ice in arctic regions, the lower surface albedo can also directly heat the surface. The influences of aerosols, including black carbon, are most pronounced in the tropics and sub-tropics, particularly in Asia, while the effects of greenhouse gases are dominant in the extratropics and southern hemisphere.

Solar variation

Solar variation over thirty years.
Variations in solar output have been the cause of past climate changes. The effect of changes in solar forcing in recent decades is uncertain, but small, with some studies showing a slight cooling effectwhile others studies suggest a slight warming effect.
Greenhouse gases and solar forcing affect temperatures in different ways. While both increased solar activity and increased greenhouse gases are expected to warm the troposphere, an increase in solar activity should warm the stratosphere while an increase in greenhouse gases should cool the stratosphere. Observations show that temperatures in the stratosphere have been cooling since 1979, when satellite measurements became available. Radiosonde (weather balloon) data from the pre-satellite era show cooling since 1958, though there is greater uncertainty in the early radiosonde record.
A related hypothesis, proposed by Henrik Svensmark, is that magnetic activity of the sun deflects cosmic rays that may influence the generation of cloud condensation nuclei and thereby affect the climate. Other research has found no relation between warming in recent decades and cosmic rays. The influence of cosmic rays on cloud cover is about a factor of 100 lower than needed to explain the observed changes in clouds or to be a significant contributor to present-day climate change.

Feedback

Feedback is a process in which changing one quantity changes a second quantity, and the change in the second quantity in turn changes the first. Positive feedback increases the change in the first quantity while negative feedback reduces it. Feedback is important in the study of global warming because it may amplify or diminish the effect of a particular process. The main positive feedback in global warming is the tendency of warming to increase the amount of water vapor in the atmosphere, a significant greenhouse gas. The main negative feedback is radiative cooling, which increases as the fourth power of temperature; the amount of heat radiated from the Earth into space increases with the temperature of Earth's surface and atmosphere. Imperfect understanding of feedbacks is a major cause of uncertainty and concern about global warming. A wide range of potential feedback process exist, such as Arctic methane release and ice-albedo feedback. Consequentially, potential tipping points may exist, which may have the potential to cause abrupt climate change.

Climate models

Calculations of global warming prepared in or before 2001 from a range of climate models under the SRES A2 emissions scenario, which assumes no action is taken to reduce emissions and regionally divided economic development.
The geographic distribution of surface warming during the 21st century calculated by the HadCM3 climate model if a business as usual scenario is assumed for economic growth and greenhouse gas emissions. In this figure, the globally averaged warming corresponds to 3.0 °C (5.4 °F).
The main tools for projecting future climate changes are mathematical models based on physical principles including fluid dynamics, thermodynamics and radiative transfer. Although they attempt to include as many processes as possible, simplifications of the actual climate system are inevitable because of the constraints of available computer power and limitations in knowledge of the climate system. All modern climate models are in fact combinations of models for different parts of the Earth. These include an atmospheric model for air movement, temperature, clouds, and other atmospheric properties; an ocean model that predicts temperature, salt content, and circulation of ocean waters; models for ice cover on land and sea; and a model of heat and moisture transfer from soil and vegetation to the atmosphere. Some models also include treatments of chemical and biological processes. Warming due to increasing levels of greenhouse gases is not an assumption of the models; rather, it is an end result from the interaction of greenhouse gases with radiative transfer and other physical processes. Although much of the variation in model outcomes depends on the greenhouse gas emissions used as inputs, the temperature effect of a specific greenhouse gas concentration (climate sensitivity) varies depending on the model used. The representation of clouds is one of the main sources of uncertainty in present-generation models.
Global climate model projections of future climate most often have used estimates of greenhouse gas emissions from the IPCC Special Report on Emissions Scenarios (SRES). In addition to human-caused emissions, some models also include a simulation of the carbon cycle; this generally shows a positive feedback, though this response is uncertain. Some observational studies also show a positive feedback.[78][79][80] Including uncertainties in future greenhouse gas concentrations and climate sensitivity, the IPCC anticipates a warming of 1.1 °C to 6.4 °C (2.0 °F to 11.5 °F) by the end of the 21st century, relative to 1980–1999.[2]
Models are also used to help investigate the causes of recent climate change by comparing the observed changes to those that the models project from various natural and human-derived causes. Although these models do not unambiguously attribute the warming that occurred from approximately 1910 to 1945 to either natural variation or human effects, they do indicate that the warming since 1970 is dominated by man-made greenhouse gas emissions.
The physical realism of models is tested by examining their ability to simulate current or past climates.Current climate models produce a good match to observations of global temperature changes over the last century, but do not simulate all aspects of climate. Not all effects of global warming are accurately predicted by the climate models used by the IPCC. Observed Arctic shrinkage has been faster than that predicted. Precipitation increased proportional to atmospheric humidity, and hence significantly faster than current global climate models predict.

Attributed and expected effects

Global warming may be detected in natural, ecological or social systems as a change having statistical significance.Attribution of these changes e.g., to natural or human activities, is the next step following detection

Natural systems

Sparse records indicate that glaciers have been retreating since the early 1800s. In the 1950s measurements began that allow the monitoring of glacial mass balance, reported to the WGMS and the NSIDC.
Global warming has been detected in a number of systems. Some of these changes, e.g., based on the instrumental temperature record, have been described in the section on temperature changes. Rising sea levels and observed decreases in snow and ice extent are consistent with warming.Most of the increase in global average temperature since the mid-20th century is, with high probability,attributable to human-induced changes in greenhouse gas concentrations
Even with current policies to reduce emissions, global emissions are still expected to continue to grow over the coming decades Over the course of the 21st century, increases in emissions at or above their current rate would very likely induce changes in the climate system larger than those observed in the 20th century.
In the IPCC Fourth Assessment Report, across a range of future emission scenarios, model-based estimates of sea level rise for the end of the 21st century (the year 2090-2099, relative to 1980-1999) range from 0.18 to 0.59 m. These estimates, however, were not given a likelihood due to a lack of scientific understanding, nor was an upper bound given for sea level rise. Over the course of centuries to millennia, the melting of ice sheets could result in sea level rise of 4–6 m or more.
Changes in regional climate are expected to include greater warming over land, with most warming at high northern latitudes, and least warming over the Southern Ocean and parts of the North Atlantic Ocean. Snow cover area and sea ice extent are expected to decrease. The frequency of hot extremes, heat waves, and heavy precipitation will very likely increase.

Ecological systems

In terrestrial ecosystems, the earlier timing of spring events, and poleward and upward shifts in plant and animal ranges, have been linked with high confidence to recent warming. Future climate change is expected to particularly affect certain ecosystems, including tundra, mangroves, and coral reefs. It is expected that most ecosystems will be affected by higher atmospheric CO2 levels, combined with higher global temperatures.[90] Overall, it is expected that climate change will result in the extinction of many species and reduced diversity of ecosystems.

Social systems

There is some evidence of regional climate change affecting systems related to human activities, including agricultural and forestry management activities at higher latitudes in the Northern HemisphereFuture climate change is expected to particularly affect some sectors and systems related to human activitiesLow-lying coastal systems are vulnerable to sea level rise and storm surge. Human health will be at increased risk in populations with limited capacity to adapt to climate change. It is expected that some regions will be particularly affected by climate change, including the Arctic, Africa, small islands, and Asian and African megadeltas. In some areas the effects on agriculture, industry and health could be mixed, or even beneficial in certain respects, but overall it is expected that these benefits will be outweighed by negative effects.

Responses to global warming

Mitigation

Reducing the amount of future climate change is called mitigation of climate change. The IPCC defines mitigation as activities that reduce greenhouse gas (GHG) emissions, or enhance the capacity of carbon sinks to absorb GHGs from the atmosphere. Many countries, both developing and developed, are aiming to use cleaner, less polluting, technologies.192 Use of these technologies aids mitigation and could result in substantial reductions in CO2 emissions. Policies include targets for emissions reductions, increased use of renewable energy, and increased energy efficiency. Studies indicate substantial potential for future reductions in emissionsSince even in the most optimistic scenario, fossil fuels are going to be used for years to come, mitigation may also involve carbon capture and storage, a process that traps CO2 produced by factories and gas or coal power stations and then stores it, usually underground.

Adaptation

Other policy responses include adaptation to climate change. Adaptation to climate change may be planned, e.g., by local or national government, or spontaneous, i.e., done privately without government intervention.The ability to adapt is closely linked to social and economic development.Even societies with high capacities to adapt are still vulnerable to climate change. Planned adaptation is already occurring on a limited basis. The barriers, limits, and costs of future adaptation are not fully understood.

Geoengineering

Another policy response is engineering of the climate (geoengineering). This policy response is sometimes grouped together with mitigation.] Geoengineering is largely unproven, and reliable cost estimates for it have not yet been published. Geoengineering encompasses a range of techniques to remove CO2 from the atmosphere or to block incoming sunlight. As most geoengineering techniques would affect the entire globe, the use of effective techniques, if they can be developed, would require global public acceptance and an adequate global legal and regulatory framework.

UNFCCC

Most countries are Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).The ultimate objective of the Convention is to prevent "dangerous" human interference of the climate system. As is stated in the Convention, this requires that GHGs are stabilized in the atmosphere at a level where ecosystems can adapt naturally to climate change, food production is not threatened, and economic development can proceed in a sustainable fashion.
The UNFCCC recognizes differences among countries in their responsibility to act on climate change In the Kyoto Protocol to the UNFCCC, most developed countries (listed in Annex I of the treaty) took on legally binding commitments to reduce their emissions] Policy measures taken in response to these commitments have reduced emissions. For many developing (non-Annex I) countries, reducing poverty is their overriding aim.
At the 15th UNFCCC Conference of the Parties, held in 2009 at Copenhagen, several UNFCCC Parties produced the Copenhagen Accord.[106] Parties agreeing with the Accord aim to limit the future increase in global mean temperature to below 2 °C The 16th Conference of the Parties (COP16) was held at Cancún in 2010. It produced an agreement, not a binding treaty, that the Parties should take urgent action to reduce greenhouse gas emissions to meet the 2 °C goal. It also recognized the need to consider strengthening the goal to a global average rise of 1.5 °C.

Views on global warming

Total greenhouse gas emissions in 2000, including land-use change.
There are different views over what the appropriate policy response to climate change should be.These competing views weigh the benefits of limiting emissions of greenhouse gases against the costs. In general, it seems likely that climate change will impose greater damages and risks in poorer regions.

Politics

Developed and developing countries have made different arguments over who should bear the burden of economic costs for cutting emissions. Developing countries often concentrate on per capita emissions, that is, the total emissions of a country divided by its population. Per capita emissions in the industrialized countries are typically as much as ten times the average in developing countries This is used to make the argument that the real problem of climate change is due to the profligate and unsustainable lifestyles of those living in rich countries
On the other hand, commentators from developed countries point out that total carbon emissions, carrying capacity, efficient energy use and civil and political rights are very important issues. World population is the number of humans per unit area. However the land is not the same everywhere. Not only the quantity of fossil fuel use but also the quality of energy use is a key debate point. For example, efficient energy use supporting technological change might help reduce excess carbon dioxide in Earth's atmosphere. The use of fossil fuels for conspicuous consumption and excessive entertainment are issues that can conflict with civil and political rights. People in developed countries argue that history has proven the difficulty of implementing fair rationing programs in different countries because there is no global system of checks and balances or civil liberties.
The Kyoto Protocol, which came into force in 2005, sets legally binding emission limitations for most developed countries. Developing countries are not subject to limitations. This exemption led the U.S. and Australia to decide not to ratify the treaty, although Australia did finally ratify the treaty in December 2007Debate continued at the Copenhagen climate summit and the Cancún climate summit.

Public opinion

In 2007–2008 Gallup Polls surveyed 127 countries. Over a third of the world's population was unaware of global warming, with people in developing countries less aware than those in developed, and those in Africa the least aware. Of those aware, Latin America leads in belief that temperature changes are a result of human activities while Africa, parts of Asia and the Middle East, and a few countries from the Former Soviet Union lead in the opposite beliefIn the Western world, opinions over the concept and the appropriate responses are divided. Nick Pidgeon of Cardiff University said that "results show the different stages of engagement about global warming on each side of the Atlantic", adding, "The debate in Europe is about what action needs to be taken, while many in the U.S. still debate whether climate change is happening." A 2010 poll by the Office of National Statistics found that 75% of UK respondents were at least "fairly convinced" that the world's climate is changing, compared to 87% in a similar survey in 2006.A January 2011 ICM poll in the UK found 83% of respondents viewed climate change as a current or imminent threat, while 14% said it was no threat. Opinion was unchanged from an August 2009 poll asking the same question, though there had been a slight polarisation of opposing views. A survey in October, 2009 by the Pew Research Center for the People & the Press showed decreasing public perception in the United States that global warming was a serious problem. All political persuasions showed reduced concern with lowest concern among Republicans, only 35% of whom considered there to be solid evidence of global warming. The cause of this marked difference in public opinion between the United States and the global public is uncertain but the hypothesis has been advanced that clearer communication by scientists both directly and through the media would be helpful in adequately informing the American public of the scientific consensus and the basis for it.

Other views

Most scientists accept that humans are contributing to observed climate change. National science academies have called on world leaders for policies to cut global emissions. However, some scientists and non-scientists question aspects of climate-change science.
Organizations such as the libertarian Competitive Enterprise Institute, conservative commentators, and some companies such as ExxonMobil have challenged IPCC climate change scenarios, funded scientists who disagree with the scientific consensus, and provided their own projections of the economic cost of stricter controls.[129][130][131][132] In the finance industry, Deutsche Bank has set up an institutional climate change investment division (DBCCA)which has commissioned and published research on the issues and debate surrounding global warming.Environmental organizations and public figures have emphasized changes in the current climate and the risks they entail, while promoting adaptation to changes in infrastructural needs and emissions reductionsSome fossil fuel companies have scaled back their efforts in recent years,or called for policies to reduce global warming.

Etymology

The term global warming was probably first used in its modern sense on 8 August 1975 in a science paper by Wally Broecker in the journal Science called "Are we on the brink of a pronounced global warming?". Broecker's choice of words was new and represented a significant recognition that the climate was warming; previously the phrasing used by scientists was "inadvertent climate modification," because while it was recognized humans could change the climate, no one was sure which direction it was going The National Academy of Sciences first used global warming in a 1979 paper called the Charney Report, it said: "if carbon dioxide continues to increase, [we find] no reason to doubt that climate changes will result and no reason to believe that these changes will be negligible." The report made a distinction between referring to surface temperature changes as global warming, while referring to other changes caused by increased CO2 as climate change.
Global warming became more widely popular after 1988 when NASA scientist James Hansen used the term in a testimony to Congress. He said: "global warming has reached a level such that we can ascribe with a high degree of confidence a cause and effect relationship between the greenhouse effect and the observed warming."His testimony was widely reported and afterward global warming was commonly used by the press and in public discourse.